Jakarta –
Di Desa Adat Sanggulan, Desa Banjaranyar, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali, terdapat sebuah gua yang diyakini pernah dihuni monster. Kisah ini masih dipercaya sampai sekarang. Hal ini ditandai dengan kebiasaan penduduk asli setempat yang menahan diri untuk tidak memakan olahan buah atau tiwul.
Selain itu, gua raksasa itu masih ada. Meski dalam beberapa tahun terakhir, mulut goa telah menyusut akibat tertimbun longsoran tanah di sekitarnya.
“Sampai saat ini kami orang asli Sanggulan belum pernah makan Timbul (Tiwul),” kata Kepala Pura Paneduhan, Jero Mangku I Made Jata, Sabtu (12/3/2022).
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Menurutnya, kepercayaan mengenai pantang memakan buah Aristoteles sudah turun temurun. Meskipun tidak ada catatan tertulis baik penerbitan maupun prasasti. “Sudah turun temurun. Tidak ada prasasti atau catatan tertulis,” katanya.
Ia menyebutkan, kepercayaan tersebut terkait dengan kisah seorang raksasa yang tinggal di sebuah gua besar yang lebarnya sekitar belasan meter dan tingginya 10 meter. Dan ceritanya tak lekang oleh waktu. “Yang diketahui, cerita raksasa itu ada di kerajaan Tabanan,” ujarnya.
Singkat cerita, katanya, saat itu raksasa itu sudah membuat orang tidak nyaman. Hal ini dikarenakan setiap Puri Tabanan melakukan upacara dengan menampilkan Tari Rejang Dewa pasti ada penari yang hilang.
“Biasanya para penari adalah baris terakhir. Besoknya ada orang tua yang melaporkan putrinya hilang setelah menari di upacara tersebut,” jelas Mangku Jata.
Singkat cerita, upacara serupa kembali digelar pada kesempatan berikutnya. Kali ini, seperti yang diharapkan, para penari rejang di barisan terakhir diberi nasi yang belum ditumbuk sempurna.
“Nasi diletakkan di pinggang dan mangkok atau wadah yang biasa digunakan penari Rejang untuk menaruh bunga,” ujarnya.
Hilangnya penari Rejang Dewa di baris terakhir kembali terulang. Raja Tabanan kemudian memerintahkan sang patih dan pasukannya untuk melacak hilangnya para penari di barisan terakhir dengan melihat nasi yang tertumpah.
Tumpahan beras terakhir akhirnya ditemukan di dalam gua. Pada saat yang sama, kapten yang dikirim oleh raja menemukan tulang belulang di sekitar gua. Begitu juga dengan raksasa yang rupanya menculik barisan penari terakhir.
“Hanya saja raksasa itu terlalu sakti. Tidak terkalahkan dengan senjata. Patih yang dikirim raja tidak mampu melawannya. Maka patih kembali ke istana dan melaporkan keadaannya,” kata Mangku Jata.
Kembali ke istana, Raja dan Patih menyusun strategi untuk mengalahkan monster itu. Dalam strateginya, masyarakat diminta memotong dan mengeringkan ilalang. Ilalang kering kemudian diletakkan di depan mulut gua.
“Lama kelamaan ilalang itu kering lalu dibakar. Asapnya masuk (gua) dan menyebabkan raksasa itu kepanasan,” lanjutnya.
Saat itu, anak buah Raja Tabanan kembali menyerang hingga sang monster mengakui kesalahannya berkali-kali menculik penari Rejang Dewa di baris terakhir.
“Karena mengaku salah, raksasa itu mengungkapkan kelemahannya. Jika ingin menghancurkannya, maka harus menggunakan tongkat Timbul. Tongkat itu digunakan untuk memukul tubuhnya,” kata Jata.
Pada saat yang sama, raksasa itu dikalahkan dan sebelum meninggal dia memperingatkan untuk tidak memakan sayuran yang terbuat dari buah Timbul.
“Jadi keberadaan goa sangat erat kaitannya dengan adat yang diyakini oleh penduduk asli Sanggulan. Sampai sekarang masih demikian. Kalau dilanggar biasanya sakit hati dan harus minta ampun kepada leluhur di rong telu( salah satu bangunan di pura keluarga),” katanya.
Mulut gua raksasa di Sanggulan yang ceritanya dikaitkan dengan kepercayaan penduduk asli setempat, pantangan makan sayur atau buah Timbul atau Tiwul. (chairul amri simabur/detikBali) Foto: Mulut gua raksasa di Sanggulan yang ceritanya terkait dengan kepercayaan penduduk asli setempat untuk tidak makan sayur atau buah Timbul atau Tiwul. (chairul amri simabur/detikBali)
Tiga Cabang
Jata sendiri mengaku belum pernah memasuki gua tersebut. Namun, hanya beberapa orang yang memasuki gua.
Dari cerita orang yang memasuki goa tersebut, ia mendapat informasi bahwa goa tersebut memiliki tiga cabang. Satu di utara, satu di barat tepi sungai atau Tukad Yeh Panan, dan satu di selatan.
“Ada yang masuk. Mungkin yang berani. Biasanya mereka akan meletakkan sesaji di depan gua. Saya sendiri belum pernah masuk. Padahal, saya tahu gua itu bercabang tiga dari orang yang masuk. ,” dia berkata.
Terkait hubungannya dengan Pura Peneduhan, kata Mangku Jata, keberadaan goa tersebut tidak ada kaitannya secara langsung. Candi Peneduhan sendiri memiliki sejarah atau cerita yang berbeda meskipun terjadi pada waktu yang bersamaan. “Tidak ada hubungan langsung,” katanya.
Pura Peneduhan sendiri dulunya merupakan tempat berteduh bagi rombongan Raja Badung yang ingin memenuhi undangan Raja Puri Tabanan yang sedang mengadakan upacara besar.
Di lokasi pura, rombongan beristirahat dan lelah hingga Raja Badung saat itu sempat mengambil air dari sungai Yeh Panan di sisi barat Pura Peneduhan. “Makanya disebut shading,” katanya.
Namun karena jarak antara Pura Peneduhan dengan goa raksasa sangat dekat, sekitar seratus meter, maka petugas pura pasti akan memberikan sesajen ke goa tersebut.
“Karena tempatnya dekat, sekitar seratus meter, setiap ada upacara piodalan di Candi Paneduhan, biasanya kami juga memberikan sesajen ke goa tersebut,” tambah Jata.
Piodalan di Pura Peneduh rutin dilaksanakan setiap enam bulan sekali pada Upah Merakih Buddha atau Upah Rabu Wuku Merakih.
Piodalan biasanya akan dihadiri oleh pamaksan krama atau kelompok tertentu yang memiliki ikatan kekerabatan dalam masyarakat Bali. Jumlah candi pamaksan terdiri dari 63 kepala keluarga.
“Tapi bukan berarti orang di luar Pamaksan tidak bisa salat. Kadang orang di luar Sanggulan bahkan Denpasar datang ke sini untuk salat. Saya tidak tahu kebutuhannya apa. Yang salat pasti minta keselamatan,” pungkasnya. . .
Simak Video “Tari Kecak Uluwatu Bali Penuh Filosofi Mistis”
[Gambas:Video 20detik]
(sim/sim)