liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Kisah Watu Nganten dan Pantangan Menikah Antara Warga 2 Desa di Blora


Blora

Watu Nganten atau Batu Pengantin di Blora diyakini disakralkan oleh sebagian orang. Ada mitos dan pantangan yang masih dipercaya hingga saat ini. Apa itu?

Ada cerita rakyat di balik keberadaan Watu Nganten yaitu tentang pasangan yang dikutuk menjadi batu untuk buang air besar.

Situs Watu Nganten terletak di pinggir pemakaman umum Dusun Ngelobener, Desa Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora. Penduduk setempat dengan mudah menaungi bebatuan di bawah pohon beringin dengan tiang kayu dan atap genteng.

IKLAN

GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN

Ada lima guci di dekat Watu Nganten. Tiga guci terletak di atas batu kumbung. Dua kendi lagi di lantai bawah, salah satunya rusak.

Ketua RW setempat, Japar mengatakan, ada cerita bahwa Batu Nganten awalnya adalah dua pasangan yang baru menikah. Pengantin wanita berasal dari Kampung Brumbung, Kecamatan Jepon, Blora. Sedangkan untuk mempelai pria, dari Dusun Ngelobener, Jepang, Blora.

Ditemui di rumahnya, Japar menceritakan pernikahan digelar di rumah mempelai wanita. Setelah itu, seminggu kemudian akan diadakan acara nunduh tuua di rumah laki-laki tersebut.

Dalam perjalanan pulang dari rumah istrinya, mempelai pria buang air besar.

“Menurut adat Jawa, mempelai perempuan setelah pasar (lima hari) dikembalikan ke rumah orang tua mempelai laki-laki. Mereka tidak ditemani, tetapi pulang sendiri. Kemudian mereka istirahat di sana dan buang air kecil. Tiba-tiba mereka menghilang dan berubah menjadi batu, “ucap Jap. .

Meski belum bisa memastikan kebenaran cerita turun temurun, kata Japar, hingga saat ini masih ada kepercayaan bahwa pernikahan antara warga Kampung Brumbung dengan warga Kuh Ngelobener, Kampung Jepon tidak diperbolehkan.

“Menurut sesepuh, itu dilarang,” kata Japar.

Ia menambahkan, sampai saat ini Watu Nganten dikenal sebagai tempat suci untuk menghormati leluhur. Setiap tahun warga mengadakan hajatan di Watu Nganten sekaligus acara bakti sosial.

“Tempatnya digunakan untuk bancakan (pesta), ketat deso (sedekah bumi),” pungkas Japar.

—–

Artikel ini pernah dimuat di detikJateng dan selengkapnya bisa dibaca di sini.

Simak Video “Kisah 2 Keluarga yang Tinggal di Hutan Blora Selama Sepuluh Tahun”
[Gambas:Video 20detik]
(www www)