Jakarta –
Semakin banyak anak muda yang mengalami serangan jantung, gaya hidup yang tidak sehat kemungkinan menjadi pemicunya. Penyakit jantung masih menjadi salah satu penyumbang kematian terbesar di Indonesia.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, banyak pasien yang meninggal karena terlambat terdeteksi. “Saya baru tahu kenapa orang sakit jantung meninggal karena terlambat terdeteksi,” jelas Budi saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan.
Terpisah, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dr Dian Larasati SpJP dari RS Jantung Binawaluya mengatakan, beberapa keluhan sering diabaikan oleh pasien. Pasalnya, nyeri yang muncul kerap dianggap sebagai keluhan biasa.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Padahal, ada gejala khas nyeri serangan jantung yang bisa dikenali.
“Sebelum mulai serangan jantung, kadang ada orang kalau gejala alarmnya bagus, ada keluhan seperti cepat lelah apalagi saat melakukan aktivitas berat, mungkin laki-laki kalau cuci mobil seperti itu, dadanya terasa panas atau tertekan,” dia berkata. dijelaskan detikcom Jumat (3/2/2022).
“Apalagi nyeri saat beraktivitas dan saat istirahat sudah hilang, nah itu yang paling khas penyempitan pembuluh darah. Kalau terasa berulang dan lebih sering, bisa jadi itu tanda serangan jantung mendekat, jadi kadang kalau sudah seperti itu keluhannya diabaikan, dikira sakit, GERD,” lanjutnya.
Keluhan seperti itu pada akhirnya membuat pasien tidak serta merta pergi ke dokter untuk melihat risiko serangan jantung. Sayangnya, tidak mungkin diperkirakan berapa lama serangan jantung terjadi sejak keluhan awal muncul.
Artinya, semakin cepat Anda berobat ke fasilitas kesehatan, semakin baik pengobatan yang bisa dilakukan.
“Bedanya yang jelas serangan jantung itu lebih sakit dan bisa dirasakan terus menerus, bisa di dada kiri, bisa di punggung ke rahang, tangan, macam-macam, bisa. juga tidak sadarkan diri,” ujarnya. “Nyeri disertai mual, muntah, keringat dingin, ini gejala yang paling khas dari serangan jantung,” kata dr Dian.
Pentingnya Deteksi Dini
Secara statistik, pria lebih banyak menderita serangan jantung daripada wanita. Menurut dr Dian, risikonya lebih tinggi di usia 30-an. Ia menyarankan pada usia tersebut sebaiknya rutin memeriksa faktor risiko antara lain tekanan darah tinggi, melakukan tes lab untuk mengecek diabetes, dan tes treadmill untuk mencari potensi penyakit jantung koroner.
Jika hasilnya bagus, dr Dian menyarankan agar dilakukan skrining rutin setahun sekali. Jika di kemudian hari terdapat keluhan yang serius, dapat dilakukan pemeriksaan secara mendetail.
“Bila ada keluhan yang serius, kita bisa melakukan pemeriksaan lebih detail seperti CT scan koroner yang masuk ke koridor sambil memasukkan bahan kontras melalui infus, barulah kita bisa melihat gambaran pembuluh darahnya,” ujarnya. . .
Dalam kasus gangguan jantung, dokter biasanya melakukan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau pemasangan cincin jantung. Tindakan ini perlu dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari risiko kekambuhan.
Dalam prosesnya, IVUS digunakan sebagai upaya dokter untuk memasang cincin agar ukurannya menyerupai pembuluh darah alami. Disebutnya demikian karena pemeriksaan seperti kateterisasi memiliki keterbatasan.
IVUS seperti ultrasound dimasukkan ke dalam vena untuk melihat seberapa bermasalah arteri jantung pasien. Ini termasuk ukuran pembuluh darah, bentuk plak, apakah plak itu lunak atau keras karena pengapuran, dan adanya robekan.
Dengan begitu, dokter lebih mudah untuk dapat mengevaluasi arteri koroner untuk penempatan cincin yang tepat, baik menentukan ukuran pembuluh darah, berapa banyak cincin yang digunakan dan strategi pemasangan yang tepat.
Tonton video “Awas Penyakit Jantung Pada Anak!”
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)